Cerita Seorang Pelayan Restauran: Perubahan Sempurna

Hari minggu ini aku bertugas seperti biasa. Restauran buka jam 1 siang, saat awan-awan mulai bergerombol di langit menyembunyikan sinar matahari yang sejak tadi pagi bersinar cerah. Aku duduk di belakang meja tempat para pelanggan memesan makanan maupun minuman. Seperti biasa, orang-orang berdatangan, memesan beberapa makanan dan minuman, memilih tempat duduk, kemudian sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Berkumpul mendiskusikan sesuatu ataupun sibuk dengan gadget-nya masing-masing mengerjakan sesuatu. Seperti biasa pula aku berkeliling, mengantarkan pesanan.

Tak lama, gerimis mulai turun disertai munculnya seorang gadis dari gerbang restauran. Ia menghampiri kami. Yang ia pesan hanya segelas susu murni dingin dengan rasa plain. Aku melihat setitik semangat di matanya. Terpancar pula dari senyumnya yang ramah. Ia memilih tempat duduk di pojok. Bukan tempat duduk yang biasa dipilih orang yang datang sendiri, bisa ditempati hingga empat orang. Bahkan di sana tidak dilengkapi stopkontak jika aku berpersepsi bahwa ia memilih tempat duduk dengan stopkontak untuk men-charge gadget-nya. Kemudian ia mengeluarkan beberapa barang dari tasnya. Cukup banyak, sebuah buku, pensil, setumpuk kertas, dan kacamata. Ah, ia mau belajar. Sepertinya ia mahasiswa. Tapi bahkan pencahayaan di meja itu tak cukup bagus untuk membaca.

Segelas susu yang ia pesan selesai dibuat. Aku segera mengantarkannya. Responnya normal, tersenyum, mengucapkan terima kasih, lalu kembali fokus pada buku tebalnya setelah aku meninggalkan pesanannya di meja. Dari dekat, ia terlihat lebih menarik dengan kacamatanya. Aku baru sadar, aku begitu tertarik memperhatikannya. Mungkin karena ia satu-satunya pelanggan yang datang sendirian saat itu.

Setengah jam berlalu, gadis itu masih sibuk dengan bukunya. Sesekali mencatatkan sesuatu. Handphone-nya hanya tergeletak di meja tanpa ia sentuh sejak ia tiba di sini. Tak berapa lama, ia diam. Menatap lurus ke arah pintu masuk restauran. Seperti memikirkan sesuatu kemudian mengambil handphone-nya. Entah apa yang dilakukan. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah handsfree. Ia memasangkannya pada handphone, menyentuh layarnya beberapa saat, kemudian begitu serius memperhatikan layar handphone, cukup lama. Sesekali ia tersenyum, terkadang sedikit menahan tawa. Beberapa saat kemudian, raut wajahnya berubah. Masih menatap layar handphone, ia seperti menahan takut. Benar saja, tiba-tiba ia terkejut lalu sedikit membanting handphone-nya di meja dengan layar menghadap ke bawah. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Lucu, pikirku.

Ia kembali meraih bukunya. Hanya beberapa detik saja lalu meraih handphone-nya kembali. Sepertinya ia bosan. Belajar memang harus diselingi istirahat sebentar bukan? Supaya otak tidak penat dan begitu penuh. Dengan handsfree masih terpasang di telinganya yang tertutup kerudung, ia kembali serius menatap layar handphone. Apa yg ia lakukan? Mengapa begitu serius? Belajar lagi kah namun hanya berbeda media? Aku terus memperhatikannya. Penasaran. Tiba-tiba aku tersadar bahwa tangannya begitu cepat bergerak menyentuh layar handphone terus menerus. Ada tempo tertentu yang dibentuk. Ah, ia bermain game? Sepertinya seru. Jari-jarinya masih bergerak cepat dengan wajah yang sangat serius.

Setengah jam kemudian, ia kembali pada bukunya. Kembali mencatat sesuatu pada kertas-kertasnya. Namun dengan diselingi memeriksa handphone-nya. Kalau aku tidak salah, sudah dua jam ia di sana. Minuman yang ia pesan masih tersisa setengah gelas. Ia menunggu siapa? Waktu menunjukkan jam 4 sore dan hujan di luar masih deras saja. Ia jadi sering menatap ke pintu masuk. Bukunya hanya sesekali ia baca. Lebih sering mengecek handphone-nya. Sesekali saja, membalas pesan sepertinya. Ah, aku baru sadar. Wajahnya sudah berubah. Senyum ramahnya hilang. Setitik semangat di matanya mulai pudar. Ia lelah. Sepertinya bosan sudah mulai menghampirinya. Ia jadi lebih sering menyangga dagunya dengan tangan yang terlipat di atas meja. Beberapa kali ia melamun.

Ah, matanya berkaca-kaca! Kenapa? Ada apa? Sebenarnya siapa yang ia tunggu? Sudah tiga jam. Kenapa ia harus menunggu selama itu? Beberapa kali ia melap matanya. Menghindari air mata jatuh ke pipinya. Aku semakin tak tega. Haruskah aku menemaninya? Namun aku ragu. Akhirnya ia mengeluarkan tissue. Menangkupkan wajahnya pada selembar tissue dan kedua telapak tangannya. Ia benar-benar menangis!

Sebentar saja, gadis itu kembali menatap handphone-nya. Tak lagi menangis, hanya mata yang terkadang berkaca-kaca. Sudah hampir empat jam. Kali ini ia lebih sering mengecek handphone-nya, mengetikkan sesuatu, kemudian meletakkannya kembali, tak lama, dan berlanjut berulang kali. Ada seseorang atau sekelompok orang yang intens ia hubungi, pikirku. Yah, setidaknya ada yg menemaninya agar tak terlalu bosan. Kali ini ia menatap layar handphone-nya cukup lama dengan dagu bertopang pada tangan yang terlipat di atas meja. Matanya mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba ia begitu serius membaca sesuatu, masih dengan matanya yang semakin berkaca-kaca. Ah, tiba-tiba ia menelungkupkan wajahnya di tangannya yang masih terlipat di atas meja! Cukup lama. Ada sesuatu yang terjadi. Biar kuceritakan lebih detail. Seperti yang kukatakan. Ia begitu serius membaca sesuatu di handphone-nya. Matanya semakin berkaca-kaca. Tidak lama, wajahnya mengisyaratkan ia terkejut. Dengan air mata yang hampir jatuh, kemudian ia menelungkupkan wajahnya. Apakah ia kembali menangis? Kali ini sepertinya lebih serius dari sebelumnya. Ia terdiam dalam posisi tersebut cukup lama. Bahunya tergetar seperti menahan energi yang begitu hebat.

Hampir lima menit ia baru mengangkat wajahnya. Benar saja, matanya sembab. Ia mengambil tissue dan menangkupkannya pada wajahnya. Kemudian mengambil handphone-nya kembali. Melanjutkan pesannya, sepertinya. Bukunya sudah tak lagi ia sentuh. Ya, sebaiknya jangan. Ia sudah terlalu lelah. Ia terus bermain dengan handphone-nya. Sedikit demi sedikit ia mulai tersenyum. Walau dengan mata yang sesekali masih sedikit berkaca-kaca. Aku lega, ada yang sedikit demi sedikit menghiburnya.

Matahari mulai pulang. Namun hujan masih saja turun. Tiba-tiba gadis itu berdiri, mengambil sesuatu dari dalam tasnya, kemudian menghampiri kami. Ia memesan semangkuk mie rebus dan teh manis hangat. Sepertinya cuaca hari itu cukup membuatnya kedinginan. Apalagi dengan emosi yang dirasakan pun membuat energinya berkurang. Matanya masih terlihat sembab dengan senyum yang diusahakan terlihat ramah di depan kami. Ia tak sadar bahwa aku terus memperhatikannya sejak tadi.

Tak berapa lama, aku segera mengantarkan pesanannya. Aku senang melihatnya makan dengan lahap. Sembab di matanya mulai berkurang. Terlihat sedikit jika diperhatikan dengan seksama. Ia masih bermain dengan handphone-nya.

Jam tujuh malam. Masih belum ada orang yang datang kemudian menghampirinya. Siapa yg ia tunggu sampai ia rela sendirian selama itu? Pacar kah? Tiba-tiba seorang pria muncul dari pintu masuk. Sambil berjalan ia menyebutkan sebuah nama. Gadis itu menengok. Ah, ternyata itu namanya. Sang pria duduk di depannya. Dia kah yang ia tunggu? Kenapa? Mereka berbincang sebentar yang kemudian disusul dengan tiga orang wanita yang datang dan menghampiri mereka. Mereka semua minta maaf kepada gadis itu karena telah membuatnya menunggu. Kau tau reaksi gadis itu? Mengajak toss mereka semua yang terlihat seperti salam khas diantara mereka, menjawab bahwa ia baik-baik saja dengan santai, dan melemparkan senyum yang luar biasa ramah yang sepertinya menunjukkan begitu bahagia bertemu dengan mereka. Salah satu dari temannya yang wanita merasa sangat bersalah hingga meneteskan air mata. Gadis itu menenangkannya dan terus-terusan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Sementara satu-satunya lelaki di sana pun merasa sangat bersalah. Laki-laki itu menyuruh sang gadis untuk menatapnya. Sang gadis hanya melihatnya sekilas lalu kembali menenangkan teman yang satunya. Pria itu mengambil kesimpulan bahwa gadis itu sempat menangis dan semakin merasa bersalah. Namun gadis itu tak peduli dan terus melemparkan wajah baik-baik saja. Ya, ia menangis, bodoh! Kau sudah membuatnya menunggu lebih dari empat jam! Aku ingin memaki mereka.

Kenapa begitu? Kenapa ia berlaku seolah tak ada apapun yang terjadi? Kenapa wajahnya bisa berubah 180 derajat begitu ia bertemu mereka? Kenapa ia bisa dengan mudah menyembunyikan emosinya? Lalu kenapa ia menyembunyikannya? Kenapa aku yang merasa begitu kesal atas semua yang terjadi padanya sementara ia terlihat biasa-biasa saja saat ini?

Mereka memesan makanan dan minuman, makan begitu pesanan diantarkan, kemudian terlibat dalam pembicaraan yang terlihat serius. Setengah sembilan, mereka pulang seolah tak ada apapun yang terjadi pada gadis itu. Gadis itu tetap terlihat bahagia saat ini, entah nanti. Aku tak tau apakah ia hanya berusaha menyembunyikan, atau orang-orang itu benar-benar bisa membuat perasaannya berubah jauh lebih baik. Yang pasti, entah kenapa perubahannya itu terlihat begitu sempurna bagiku. Tak pernah kulihat sebelumnya.

-BAS-

Comments

Popular posts from this blog

Bulan di Balik Awan

Suara Langit, Mengudara di Cakrawala Indonesia