Monolog tanpa Audiens : Salah

"Di sini, aku ga berhak memiliki hak," seseorang bicara padaku. Hari ini dia sangat cerewet. Memang selalu begitu. Seseorang ini senang sekali mengajakku bicara. Padahal responku selalu hanya diam. "Tapi aku tau kamu memikirkan omonganku," katanya. Hari ini ia banyak bercerita.

Waktu aku kecil, pantatku tersundut obat nyamuk bakar waktu terjatuh saat aku bermain-main di dekatnya. Sakit. Panas. Tapi aku tidak menangis seperti yang anak kecil lain biasa lakukan. Aku hanya melihat ke arah adik laki-lakiku yang saat itu langsung terdiam lama sambil melihatku, meletakkan telunjuk di depan bibir, memberikan pesan agar ia diam dan tidak bilang pada ibu. Aku sangat takut dimarahi.

Pertama kali saat sakit tidak biasaku muncul, awalnya aku tidak berani bilang apa-apa. Sebetulnya, aku sangat merasa kalau itu bukan sakit yang biasa. Agak menakutkan kalau aku rasakan dari tanda-tandanya. Aku tidak berani bilang. Takut aku disalahkan. Takut pola hidupku di asrama yang aku bentuk sendiri itu yang di"gara-gara"i. Setelah lama tak ada perubahan, aku baru berani pulang dan bilang. Yah, aku jadi merepotkan. Oh iya, sampai sekarang, aku tidak berani bilang setiap kali ia muncul kembali.

Waktu aku lagi sering banget main ke kota, ibu marah. Terus bilang, "jadi cewe jangan malah ngejar-ngejar cowo!" Aku kaget, heran, sambil teriak dalam hati, "aku ga lagi ngejar-ngejar cowo! Aku cuma mau main tapi teman-teman aku di sana! Cuma itu!" Heran. Bisa kepikiran sampai begitu, ya.

Waktu aku bekerja dan bercerita sedikit kalau belum dibayar sambil menjelaskan alasannya, aku yang disalahkan karena ga bisa cari pekerjaan yang benar. Lalu dimarahi sedemikian marahnya. Lalu dijauhkan dari segala hal yang berhubungan dengan itu. Yang padahal adalah salah satu yang mampu membuatku senang.

Waktu aku stres dengan pekerjaan, tetap aku yang disalahkan. Waktu aku menolak pekerjaan yang masuk di hari sabtu, aku dimarahi sampai dimaki-maki. Waktu aku ketahuan menangis di dalam kamar, tidak ada yang peduli penyebab sebenarnya. "Paling masalah cowo. Segitunya amat sama cowo. Kerja aja yang bener. Nanti kalo berhasil juga cowo dateng sendiri," begitu katanya. Padahal aku menangis karena mereka. Karena teringat apa yang sudah mereka lakukan pada hidupku. 

Aku ga boleh punya hak. Kewajiban harus dilaksanakan. Aku juga ga boleh depresi. Harus selalu senang dan bersemangat melaksanakan kewajiban-kewajiban. Padahal Tuhan baik banget. Aku cuma menjalankan kebutuhanku, lalu aku diberi-Nya sangat banyak. Terharu. Lalu aku menghilang sejenak dari dunia. Kabur.

"Di sini, aku ga berhak memiliki hak. Ada yang salah ga sih kalo aku mikir gitu?" Seseorang itu bertanya lagi. "Sayang sekali aku bukan psikolog. Aku sangat ingin membantu," kataku hanya dalam hati.


-BAS-

Comments

Popular posts from this blog

Bulan di Balik Awan

Suara Langit, Mengudara di Cakrawala Indonesia