Manusia

Beberapa hari lalu, pagi-pagi sekali, ada yang mengeluh padaku. Ia bilang, "ada orang-orang yang minim pemahaman bahwa setiap orang punya privasinya masing-masing."

Aku mengamini. Tapi anggap saja mereka peduli. Terlalu peduli hingga tak peduli bahwa kita juga punya privasi.

Hubungan antar manusia memang sangat merepotkan, bukan? Ya, aku mendadak jadi sangat sensitif dengan kalimat tersebut. Aku kesal, kadang mereka, manusia, ingin kita menjelaskan, tapi tak peduli pada apa yang benar-benar kita jelaskan. Karena mereka bukan minta penjelasan, hanya butuh persetujuan bahwa yang mereka yakini itu benar. 

Di sisi lain, nyatanya kau tak bisa menyenangkan semua pihak hanya dengan satu sikap. Ah, tak perlu jauh berpikir semua pihak. Dua pihak saja dulu. Bahkan hanya untuk menghadapi dua pihak pun kau tak tahu bagaimana seharusnya bersikap. Baru menghadapi, belum menyenangkannya.

Aku lelah memikirkan apa yang dipikirkan manusia. Aku lelah mengorek isi hati setiap manusia. Bisakah aku hanya memikirkan bahwa ada sekeranjang sayuran di tengah peron di setiap pagi saat aku sampai di stasiun tujuan ketika berangkat bekerja? Tanpa perlu memikirkan tujuan ibu yang menaruh keranjangnya di sana, atau yang ada di pikiran orang-orang yang akan terganggu jalannya.

Aku tak mau berpikir lebih jauh. Bahkan setiap pikiran manusia yang lebih jauh kadang terlalu jahat untuk diungkapkan. Walau kadang tak sepenuhnya benar. Justru itu yang membuatnya sangat jahat. Kemampuannya memikirkan sesuatu yang bisa seolah terlihat sangat benar. Lalu cara mengungkapkannya yang cenderung blak-blakan bisa membuat kita berpikir, "kok bisa sampai terpikirkan seperti itu?" 

Ya, pikiran manusia yang lebih jauh kadang terlalu jahat untuk diungkapkan secara terang-terangan. Lalu, kini aku mengerti apa sebenarnya tujuan dari bahasa manis dalam puisi dan sastra.


-BAS-

Comments

Popular posts from this blog

Bulan di Balik Awan

Suara Langit, Mengudara di Cakrawala Indonesia