Tentang Opini, Latar Belakang, dan Kemerdekaan

Sabtu pagi tanggal 18 Agustus 2018. Satu hari setelah hari kemerdekaan negeriku tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-73. Sepanjang pagi ini, aku hanya bersantai-santai di kasur. Mungkin akan jadi sepanjang hari. Sarapan pun aku lupa. Tak ada yang mengingatkan. Ibu sedang sibuk bersama ibu-ibu komplek, sedangkan Bapak sibuk mengurusi mainan-mainannya di luar. Seisi rumah sudah dibereskan dan dibersihkan. Pun hari libur adalah waktunya untuk bersantai bukan? Walau senin nanti aku harus presentasi, melaporkan, dan berdiskusi dengan tenaga ahli sementara ada beberapa perintilan dari pekerjaanku yang harus aku bereskan. Nanti saja. Tapi bersantai bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Ada dua hal berarti yang aku lakukan pagi ini. Yang membuka pikiran. Dan bisa dibilang berkaitan dengan kemerdekaan.

Pagi ini aku buka dengan membaca sesuatu yang memang selalu aku baca dan mulai menjadi rutinitas harianku beberapa minggu ini. Belum setiap hari, sih. Tapi sering. Sesuatu yang membuat aku berani bilang kalau niatanku untuk hijrah bukan karena diajak seseorang beberapa hari belakangan yang membuatku sangat uring-uringan dan berpikir macam-macam. Mungkin benar kata temanku yang menjadi satu-satunya tempat curhat untuk hal ini -- karena hal itu benar-benar menyita perhatian dan aku butuh pendapat. Katanya, "hijrah itu urusan kamu. Kalau dia mau mengajak, urusan dia cuma sampai mengajak dan mengingatkan. Ga perlu memaksa dan mencampuri." Nyatanya sekarang aku sudah lebih tenang dengan keputusan yang aku buat tanpa merasa dicampuri meski nyatanya, ajakannya juga ikut mempengaruhi.

Kata orang, jangan belajar hanya dari satu guru. Aku baru memilih buku dan internet sebagai referensi. Aku belum ada niatan untuk pergi ke suatu perkumpulan untuk bertemu langsung dengan guru dan berkesempatan menemukan guru-guru lain. Aku masih sering merasa terintimidasi dengan cara orang memandangku. Karena, kadang aku menemukan orang-orang yang justru terkesan mengkafirkan kaumnya sendiri hanya karena beberapa perbedaan yang terlihat. Bapak juga pernah disindir oleh seseorang yang terlihat agamanya kuat. Padahal sindirannya tidak berdasar dan salah sama sekali. Mungkin itu juga yang dialami oleh Kakek hingga Bapak mewanti-wanti aku, terutama dalam hal berpakaian, di awal keputusan besarku. Katanya, "jangan terlalu yang gimana-gimana, Tha. Biasa aja, yang penting rapi." Nasihat itu yang sampai sekarang aku pegang teguh. Dan sepertinya, itu pula yang membuat aku uring-uringan waktu itu. Tapi sepertinya aku tetap harus minta maaf karena saat itu aku langsung mengambil kesimpulan tanpa berpikir lebih lanjut. Juga atas pikiran-pikiran negatifku. Sekaligus mewanti-wanti kalau nanti hijrahku tidak seperti yang dia bayangkan.

Selesai membaca, aku beralih ke media sosial. Ada seorang perempuan yang terlihat sangat tangguh dan berani menarik perhatianku beberapa hari ini. Opininya selalu aku tunggu. Aku selalu suka dan setuju dengan pemikirannya. Kurang-lebih sama dengan yang aku pikirkan. Bedanya, dia mampu dengan sangat baik menyampaikan semua opininya dengan tegas, lugas, tepat sasaran, dan tidak menimbulkan salah paham.

Aku adalah orang yang sangat sulit menyampaikan opini. Kadang aku memiliki banyak pemikiran bagus, namun terlalu sulit untuk menyampaikannya. Hingga kadang dibiarkan saja di dalam otak lalu terlewat dan mati begitu saja. Karena itu, aku selalu kagum pada orang-orang dengan kemampuan berbicara yang baik. Kemampuan untuk menyampaikan opini dengan tepat terutama. Aku ingin belajar menjadi seperti mereka. Apalagi saat ini kebebasan beropini dijunjung tinggi.

***

Ah, sudah sore. Benar kan? Sepanjang hari ini aku habiskan di atas kasur. Sekarang saatnya beranjak. Punggungku sudah tidak nyaman lagi diajak tiduran.


-BAS-

Comments

Popular posts from this blog

Bulan di Balik Awan

Suara Langit, Mengudara di Cakrawala Indonesia